HAKIKAT "MESIANISME" (KE-ALMASIH-AN) DALAM AL-QURAN & MAKNA "NAGARA PAJAJARAN ANYAR" DAN "URANG SUNDA" DALAM
UGA WANGSIT
PRABU SILIWANGI
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Makna Kata "Pajajaran"
Berikut adalah salah satu makna yang terkandung dalam nama "PAJAJARAN" yang diberikan kepada gabungan kerajaan Sunda Galuh yang berpusat di Kawali dan kerajaan Sunda Pakuan yang berpusat di Pakuan (Bogor). "PAJAJARAN" artinya "NGAJAJAR" (BERJAJAR-JAJAR), "BERJAJAR-JAJAR" atau "JAJARAN-JAJARAN" dalam bahasa Arab disebut SHAF (SHAAFFAT), contohnya jajaran-jajaran orang yang shalat berjamaah di belakang imam shalat disebut shaf.
Dengan demikian salah satu makna dari "nagara Pajajaran Anyar" dapat merujuk kepada JAMAAH SEGOLONGAN UMAT ISLAM yang dipimpin oleh IMAM (PEMIMPIN) RUHANI yang mendapat WAHYU dari ALLAH TA'ALA yakni dipimpin oleh IMAM MAHDI A.S. dan PARA KHALIFAH IMAM MAHDI A.S. (Qs.61:3-5). Mengenai hal ini telah dijelaskan dalam BAB I tentang "HIZBULLAAH HAKIKI".
Berikut adalah beberapa pendapat tentang berbagai alasan digunakannya nama PAJAJARAN kepada gabungan kerajaan Sunda Pakuan dan kerajaan Sunda Galuh yang berkedudukan di Pakuan (Bogor):
"Hampir secara umum penduduk Bogor mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota Pakuan, ibukota Pajajaran. Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:
Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
H. Ten Dam (1957). Sebagai Insinyur Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku". Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara Sungai Besar dengan Sungai Tanggerang (disebut juga Ciliwung dan Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.
Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar".
Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.
Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibukota kerajaan."
Demikianlah makna yang terkandung dalam kata PAJAJARAN dan hubungannya dengan suatu JAMA'AH MUSLIM di Akhir Zaman ini yang didirikan oleh RASUL ALLAH atau IMAM MAHDI A.S., kemudian setelah RASUL ALLAH atau IMAM MAHDI A.S. wafat maka sebagai suatu JAMA'AH maka KEPEMIMPINAN JAMAAH MUSLIM tersebut dipimpin oleh para KHALIFAH RASUL ALLAH atau KHALIFAH IMAM MAHDI A.S..
"Raja Panyelang"
Mengisyaratkan kepada JAMA'AH MUSLIM yang dipimpin oleh IMAM MAHDI A.S. dan para KHALIFAH IMAM MAHDI A.S. itulah perkataan Prabu Siliwangi tentang akan bangkitnya lagi "NAGARA PAJAJARAN ANYAR. Namun sebelumnya akan muncul "Raja Panyelang":
24. PAJAJARAN moal ninggalkeun TAPAK lian ti NGARAN pikeun mapay, sabab BUKTI NU KARI bakal rea NU MALUNGKIR, tatapi ENGKE JAGANA BAKAL AYA NO NYOBA-NYOBA,
25. supaya ANU LALEUNGIT SANGKAN BISA KAPANGGIH DEUI, pasti BISA KATIMU, mapay kudu jeung AMPARAN, tapi nu marapayna loba nu ARIEU AING PANG PINTERNA.
26. Ari nu kitu buktina ngan KUDU AREDAN HEULA, sabab BAKAL REA ENGKENA NU KATIMU, sabagian laju KABURU DILARANG ku nu disebut RAJA PANYELANG.
Terjemah:
24. PAJAJARAN TIDAK AKAN MENINGGALKAN BEKAS kecuali NAMA untuk keperluan PENELUSURAN, sebab BUKTI YANG TERSISA akan BANYAK YANG MENGINGKARI, akan tetapi KELAK DI KEMUDIAN HARI bakal ada yang MENCOBA-COBA,
25. supaya YANG TELAH MENGHILANG DAPAT BERTEMU (diketemukan) lagi, PASTI BISA DITEMUKAN (bertemu), MELAKUKAN PENELUSURAN HARUS DENGAN "AMPARAN" (landasan/cara-cara yang hakiki), tetapi orang yang MELAKUKAN PENELUSURAN (penyelidikan) banyak yang MERASA DIRI PALING PANDAI.
26. Kalau yang demikian (seperti) itu keadaannya (kenyataannya) HARUS TERLEBIH DULU MENJADI GILA, sebab KELAK AKAN BANYAK YANG DIKETEMUKAN (bertemu). SEBAGIAN keburu DILARANG oleh yang disebut RAJA PENYELANG.
"Raja Panyelang" dapat merujuk kepada:
(1) Pemerintah Kerajaan Hindia Belanda yang berusaha menghapuskan kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara – di antaranya dengan melakukan politik Devide et Impera (Memecah-belah dan menjajah) seperti yang dilakukan oleh para Fir'aun di Mesir terhadap Bani Israil (Qs.28:5-7).
(2) Oknum-oknum Pemerintah yang berusaha menghapuskan keberadaan "NAGARA PAJAJARAN ANYAR" yang dipimpin oleh RATU ADIL – IMAM MAHSI A.S. atau KOMUNITAS MUSLIM JAMA'AH AHMADIYAH yakni "URANG SUNDA" YANG BERANI.
(3) Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia, yang muncul setelah berakhirnya Daulah Utsmaniyyah (Ottoman), para penguasanya melalui berbagai organisasi Islam yang mereka bentuk -- di antaranya adalah Rabithah Alam Islamy -- mereka berusaha menghancurkan KOMUNITAS MUSLIM JAMA'AH AHMADIYAH atau "NAGARA PAJAJARAN ANYAR" yang didirikan oleh "RATU ADIL" – IMAM MAHDI A.S. atau AL-MASIH MAU'UD A.S., yakni MIRZA GHULAM AHMAD A.S..
"Budak Angon" (Anak Gembala) & Gembalaannya
Selanjutnya Prabu Siliwangi berkata:
27. NU WANI TERUS NGOREHAN, teu ngahiding ka PANGLARANG, NGOREHAN BARI NGALAWAN, NGALAWAN BARINA SEURI, nyaeta BUDAK ANGON, imahna DI BIRIT LEUWI,
28. pantona BATU SATANGTUNG, kahieuman ku HANDEULEUM, karimbunan ku HANJUANG. Ari nu DIANGONNA lain EMBE lain MUNDING lain BANTENG lain MAUNG,
29. tapi KALAKAY jeung TUTUNGGUL, inyana JONGJON NGOREHAN NGUMPULKEUN NU KATARIMU, DISUMPUTKEUN sabab LALAKON TACAN WAYAH, lamun GEUS WAYAH jeung MANGSA,
30. BARIS LOBA NU KABUKA, MARENTA DILALAKONKEUN, tapi KUDU NGALAMAN LOBA LALAKON, lilana saban JAMAN sarua jeung WAKTU NYUKMA NGUSUMAH reujeung NITISNA,
31. laju NITIS MINDAH SUKMA".............
Terjemah:
27. YANG BERANI TERUS MELAKUKAN PENCARIAN (melakukan penelitian), TIDAK MENGHIRAUKAN ADANYA LARANGAN, melakukan penelitian SAMBIL MELAWAN, melawan SAMBIL TERTAWA, yaitu yang disebut BUDAK ANGON (ANAK GEMBALA), RUMAHNYA "DI BIRIT LEUWI" (Di pinggir palung/lubuk sungai).
28. PINTUNYA "BATU SATANGTUNG" (sebentuk batu), "kahieuman" (terimbuni) oleh "HANDEULEUM" dan TERTUTUP (terhalangi) oleh HANJUANG. Yang DIGEBALAKANNYA bukan KAMBING bukan KERBAU bukan BANTENG, bukan HARIMAU,
29 melainkan "KALAKAY" (ranting/daun-daun kering) dan "TUTUNGGUL" (sisa pokok batang pohon), dia TEKUN melakukan PENCARIAN (penelitian) serta MENGUMPULKAN APA PUN YANG DIKETEMUKANNYA, DISEMBUNYIKAN sebab "LALAKON" (PAGELARAN CERITA SEJARAH) BELUM WAKTUNYA, kalau SUDAH WAKTUNYA dan SAATNYA YANG TEPAT,
30. AKAN BANYAK YANG TERBUKA, meminta DIGELAR CERITANYA, akan tetapi [terlebih dulu] HARUS MENGALAMI BANYAK "LALAKON" (KISAH KEHIDUPAN), LAMANYA setiap JAMAN sama dengan WAKTU "NYUKMA NGUSUMAH JEUNG NITISNA, (meraih kesempurnaan jiwa),
31. LAJU NITIS MINDAH SUKMA" (serta mengalami perubahan jiwa),
Kesimpulan yang dapat diambil dari perkataan Prabu Siliwangi tersebut antara lain, bahwa Komunitas BUDAK ANGON (ANAK GEMBALA) atau KOMUNITAS MUSLIM "NAGARA PAJAJARAN ANYAR" atau "URANG SUNDA" YANG BERANI walau pun mereka mengalami berbagai macam HAMBATAN YANG BERAT – berupa intimidasi dan penganiayaan, bahkan pembunuhan -- akan tetapi mereka dengan gigih terus memperjuangkan terwujudnya "NAGARA PAJAJARAN ANYAR." Mereka melakukan "perjuangannya" tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan seperti yang dilakukan oleh "saudara-saudaranya seagama" mereka penganut "garis keras" – sehingga membuat semakin buruknya citra suci Islam dan Nabi Besar Muhammad saw. -- melainkan dengan cara-cara yang beradab, sebagaimana digambarkan dalam ungkapan kalimat "ngalawan barina seuri" (melawan sambil tertawa – Qs.13:23; Qs.25;64-76; Qs.28:55-56; Qs.41:34-37).
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) dalam Injil menyebut dirinya GEMBALA (Yoh 10:10-18). Sebagaimana telah dijelaskan dalam BAB-BAB sebelumnya bahwa sebagaimana di kalangan Bani Israil Allah Ta'ala telah mengutus NABI ISA IBNU MARYAM A.S., demikian pula sebagai padanannya di kalangan Bani Ismail (umat Islam) Allah Ta'ala terdapat MISAL ISA IBNU MARYAM A.S. (Qs.43:58). Prabu Siliwangi menyebut Komunitas Muslim dari Misal Isa Ibnu Maryam a.s. tersebut BUDAK ANGON (ANAK GEMBALA) atau KOMUNITAS MUSLIM "NAGARA PAJAJARAN ANYAR" atau "URANG SUNDA" YANG BERANI.
Tempat tinggal Komunitas BUDAK ANGON (ANAK GEMBALA) atau KOMUNITAS MUSLIM "NAGARA PAJAJARAN ANYAR" atau "URANG SUNDA" YANG BERANI tersebut digambarkan dalam ungkapan kiasan "imahna DI BIRIT LEUWI, pantona BATU SATANGTUNG, kahieuman ku HANDEULEUM, karimbunan ku HANJUANG" (Rumahnya di pinggir palung/lubuk sungai). Pintunya "BATU SATANGTUNG" terimbuni oleh HANDEULEUM dan tertutup oleh HANJUANG). Ada pun makna ungkapan kiasan berkenaan BUDAK ANGON (ANAK GEMBALA) tersebut adalah:
Leuwi (lubuk/palung sungai) adalah bagian sungai yang paling dalam. Dalam bahasa Arab sungai disebut nahru, sungai besar disebut nahrun (nahirun), sedangkan sungai kecil disebut an-nuhairu. Kata nahru pun berarti "keluasan, yang luas." Kata an-nahaaru artinya siang hari, an-nahaarun artinya siang yang sangat terang, al-anhaaru artinya yang sangat terang, terang benderang. Dengan demikian kiasan tersebut dapat mengisyaratkan kepada satu KOMUNITAS MUSLIM di Akhir Zaman ini yang memiliki khazanah-khazanah ruhani AL-QURAN yang sangat luas dan dalam (Qs.18:110; Qs.31:28; Qs.56:78-81; Qs.712:27-29).
Batu dalam Al-Quran merupakan kiasan hati manusia yang semakin keras (Qs.2:75; Qs. 6:44; Qs.17:50-53; Qs.57:17-18). Kiasan tersebut mengisyaratkan bahwa untuk dapat "masuk" atau bergabung ke dalam komunitas "BUDAK ANGON" (ANAK GEMBALA) atau KOMUNITAS MUSLIM "NAGARA PAJAJARAN ANYAR" tersebut yang paling berperan adalah "KESUCIAN HATI", sebagaimana diisyaratkan dengan ungkapan "pantona batu satangtung". Menurut Allah Ta'ala hanya ORANG-ORANG YANG DISUCIKAN HATINYA sajalah yang dapat "menyentuh" kedalaman KHAZANAH-KHAZANAH RUHANI yang terkandung di dalam AL-QURAN (Qs.56:76-81).
Komunitas BUDAK ANGON (ANAK GEMBALA) atau KOMUNITAS MUSLIM "NAGARA PAJAJARAN ANYAR" atau "URANG SUNDA" YANG BERANI tersebut pada awalnya merupakan suatu golongan "Muslim monoritas yang tersembunyi", sebagaimana diisyaratkan dengan ungkapan "kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang". Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda bahwa, "Pada awalnya Islam adalah ghariib (asing) kemudian akan kembali ghariib (asing), berbahagialah mereka yang berada di dalam golongan yang ghariib (asing) tersebut."
Dikarenakan Komunitas BUDAK ANGON (ANAK GEMBALA) atau KOMUNITAS MUSLIM "NAGARA PAJAJARAN ANYAR" atau "URANG SUNDA" YANG BERANI – yakni JEMAAT AHMADIYAH -- oleh saudara-saudara mereka seagama yang merupakan "golongan Mayoritas" dianggap Non-Muslim, bahkan dinyatakan sebagai "kafir, dan sesat serta menyesatkan" maka keadaan mereka benar-benar tersembunyi sebagaimana digambarkan dalam ungkapan "imahna DI BIRIT LEUWI, pantona BATU SATANGTUNG, kahieuman ku HANDEULEUM, karimbunan ku HANJUANG" (Rumahnya di pinggir palung/lubuk sungai). Pintunya "BATU SATANGTUNG" terimbuni oleh HANDEULEUM dan tertutup oleh HANJUANG).
Handeuleum dan hanjuang adalah sejenis perdu (pohon-pohon kecil). Namun "komunitas" tersebut telah DITAKDIRKAN ALLAH TA'ALA akan menjadi sebuah "POHON RAKSASA" yang "akarnya menghunjam ke dalam bumi dan dahan serta rantingnya menjangkau ketinggian langit dan menghasilkan buahnya sepanjang masa" (Qs.14:25-26; Qs.48:30).
Saat ini "NAGARA PAJAJARAN ANYAR" yakni JEMAAT AHMADIYAH terdapat di lebih 180 negara di dunia, termasuk di NKRI tercinta ini. Di NKRI ini yang paling pesat perkembangannya adalah di bekas wilayah kekuasaan KERAJAAN PAJAJARAN ketika dipimpin oleh Prabu Siliwangi.
(Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar